Kenapa Harus Marah?

Suatu waktu, saya pernah menjadi pemarah sekali. 

Tahun ke-3 kuliah, saya memutuskan untuk tidak lagi menetap di kosan. Mata kuliah yang saya ambil sudah sedikit dan masih memungkinkan untuk pulang pergi. Pergi kuliah diawali dengan melihat ayah ibu ternyata jauh lebih menyenangkan dan memberi semangat.


Pagi-pagi, pukul 04.00 saya harus sudah bersiap dan berangkat menuju stasiun Universitas Indonesia. Membujuk adik laki-laki pertama untuk mengantar. Bersyukur sekali punya banyak saudara laki-laki. Semuanya bisa jadi tukang ojek sementara hehe 


Pernah suatu waktu, kereta pulang yang saya naiki baru sampai stasiun UI pukul 23.30 karena kendala. Biasanya, saya memesan ojek online. Tapi pukul 23.30 ojek online sudah tidak boleh masuk kampus ternama itu. Tutup. 


Saya harus berjalan ke pintu masuk depan. Dan akhirnya, saya mengabari si adik kalau saya baru sampai stasiun pukul 23.30. 

_"Bisa jemput ga?"_ 

_"Engga,ada acara di sekolah"_ katanya. 

_"Oke"_ 

Lalu, si adik menghubungi lagi. 

_"Udah dimana emang?"_ 

_"Lenteng agung"_ 

_"Otw dari sekolah"_ 

Nah gitu dong, dalem hati. wkwk 
Sejujurnya, saya bisa saja memesan ojek online dan jalan ke depan pintu masuk kampus. Tapi, demi melatih si adik jadi laki-laki sejati saya pura-pura minta jemput. Dan lulus.

Lalu perkuliahan yang sedikit itu menjadi begitu berat. Organisasi semakin padat. Pulang pergi terasa begitu melelahkan. Walaupun bagi saya menyenangkan. 


Saya punya kebiasaan ketika perjalanan pulang dari kampus atau dari manapun menuju ke rumah harus berusaha untuk membuang emosi negatif. Dan sampai rumah, cuma boleh emosi positif yang ditampakkin ke keluarga karena bagi saya, keluarga kita punya hak untuk bahagia. Dan kita punya andil di dalamnya. 


Pun sebaliknya, ketika ke luar rumah menuju suatu tempat. Orang-orang di sekitar kita punya hak untuk mendapatkan hal-hal yang positif dari diri kita. 


Tapi seringkali saya gagal menerapkannya. 

Beberapa kali, saya marah hanya karena melihat adik perempuan main handphone ketika ayah sedang mencuci baju. Hanya karena mendapati adik laki-laki saya yang tidak merespon ketika dimintai tolong untuk keluar mengambil sesuatu dari Abang gojek hanya karena saya belum sempurna menutup aurat. 

Lalu, suatu waktu setelah saya marah Allah tiba-tiba menurunkan rasa bersalah yang begitu kabut. Membuat saya tiba-tiba, --belum memasuki waktu solat-- mengambil wudhu dan melaksanakan sholat dua rokaat. Lalu menangis. 

Mengapa saya begitu pemarah pada hal-hal yang tidak bisa saya kendalikan? Apakah marah adalah jalan keluar dari respon error di sekitar yang sebenarnya mereka sedang membutuhkan kita? 
Bukankah kamu mau menatap wajah Allah? Apa Allah mau bertemu hambanya yang pemarah? 

Saat itu, saya tidak lagi bisa memunculkan rasa marah. Dan Allah selalu bersamai emosi marah dengan, _"Sabar syaima, kamu mau masuk surga dan bertemu Allah, kan?"_



Setelah itu, hidup rasanya menyenangkan sekali. 
Walaupun butuh waktu untuk melatih marah menjadi positif. Kita pasti akan sampai selama berusaha untuk menuju tenang. Selamat bertumbuh untuk lebih tenang ✨

Comments