Perjuangan Seorang Ibu

Siang ini, saya menjenguk salahsatu karyawan yayasan yang habis melahirkan bersama seorang pengajar di yayasan juga. Seharusnya, kami menjenguknya di hari Jumat, sampai akhirnya Allah takdirkan hari ini, yang bahkan hampir saja tidak jadi kalau tidak dipaksakan. 


Awalnya, saya tidak terlalu suka dengan silaturahmi, jenguk menjenguk. Tapi, karena umiabi dan kakak-kakak saya terbiasa silaturahmi dan jenguk menjenguk, akhirnya saya terpaksa harus  melatih diri untuk melakukan ini ke karyawan yayasan yang ada di Depok, karena mereka semua sudah tinggal di Sukabumi. Dan akhirnya, saya jadi terbiasa juga melakukan ini ke teman-teman, guru atau kakak seiman jika saya sehat dan mampu. Tidak jarang, akhirnya saya mengenal sampai ke orangtua masing-masing dan orangtua mereka mengenal saya. 

Yang namanya silaturahmi, tidak mungkin datang tanpa buah tangan. Kami membawa hadiah perlengkapan untuk bayi tersebut. Ketika sampai, kamu disambut dengan sangat baik. 

Dengan rumah yang lebar dan panjangnya mungkin, hanya berapa puluh meter, tapi rumah itu sangat menenangkan. Karyawan yayasan yang baru saja melahirkan itu, memeluk kami, menyediakan berbagai macam minuman, mengeluarkan buah dan makanan. 

Lalu, mengeluarkan si bayi yang sudah berusia dua bulan. Lucu sekali, masyaAllah. Dengan nama lengkap yang cantik dengan doa-doa yang diharapkan ibu dan ayahnya. 

Sembari bermain dengan si bayi, ibunya menceritakan bagaimana perjuangannya dalam melahirkan. Bagaimana pendarahan, jahitan setelah melahirkan yang harus dijahit berkali-kali sampai harus pindah dari bidan ke dokter di rumah sakit. Bagaimana rasanya jahitan dilepas dan diganti karena jahitan lama harus dilepas dan disemprot dengan semprotan yang harus mensterilkan, yang katanya sakit sekali. Belum lagi proses nifas. Bagaimana perubahan jam tidur, saat anaknya menangis di malam hari. 


Lalu, dia bercerita dengan penuh syukur. Dengan kondisinya yang masih perlu beradaptasi dari pasca persalinan, dan proses penyembuhan, yang bahkan duduk saja masih hati-hati. Dia bilang, alhamdulillah memiliki seorang suami yang sangat baik, mengerjakan pekerjaan domestik, memasak,  memandikan si bayi, bahkan menggendong si bayi ketika malam-malam menangis padahal sang suami baru saja pulang kerja dengan senang hati. Alhamdulillah, ucap saya. Itu hal yang sangat mahal bagi seorang ibu. Setidaknya, rasa sakitnya berkurang. 


Setelah mendengar ceritanya, kami harus pamit karena saya harus mengajar. Lalu, dia memeluk kami dan berterima kasih dengan wajah yang sangat ceria. Selesai mengajar, saya mendapatkan notifikasi chat watsapp berupa ucapan terimakasih dari dia. MasyaAllah. 


Saya jadi semakin menyadari, bahwa silaturahmi yang sebentar mungkin menguatkan jiwa yang gelisah meski tidak ada cerita. Saya semakin belajar, bahwa perjuangan seorang ibu tidak main-main dan hadiahnya surga dalam proses melahirkan. Bagaimana bisa, hari ini banyak orang dewasa yang mengulang-ulang istilah toxic parents, sandwich generation, karena hal-hal buruk yang sudah pasti, bahwa tidak ada orangtua yang sempurna. Walaupun, butuh waktu untuk menerima itu. Padahal, perjuangan Orangtuanya untuk melahirkan dan merawatnya sampai berpendidikan dan tumbuh sehat adalah perjuangan yang sangat mahal harganya. 

Robbigfirlana waliwalidayya..


Semangat menerima apapun dan siapapun orangtuamu, semoga Allah mampukan kita untuk selalu berbakti.. Seburuk apapun orangtua kita ❣️

Comments